Kamis, 09 Mei 2013

<> Suluk Syech Siti Jenar


Suluk Syech Siti Jenar menceritakan nasib Siti Jenar yang mirip dengan nasib Al-Hallaj. tetapi dalam beberapa hal terdapat perbedaan mendasar tentang penghukuman itu.ddalam pembahasan ini digunakan sebuah Serat yang berjudul Suluk Syech Siti Jenar ( alih aksara oleh Sutarti, 1981 ). 

Suluk ini menceritakan Syech Siti Jenar yang di anggap sebagai wali yang sakti yang berasal dari bangsa sudra. ia mendapat ilmu ketika mendengarkan ajaran Sunan Bonang kepda Sunan Kalijaga waktu Sunan Bonang mengajarkan ilmu di pesisir pantai naik perahu. Syech Siti Jenar lalu mendapatkan Ilham yang kemudian mendirikan ajaran. Ajaran Syech Siti Jenar ini disebut sebagai Tekad
Kajabariyah Kodariyah yang mengakui adanya dzat Allah. Allah mempunyai 20 sifat dianggap melekat dengan dunia dan menjadi zat Allah ( Wujud Mutlak ).
Menurut ajaran ini manusia terdiri atas dua anasir, yakni : 1) Aku (diri) yang sementara yang busuk menjadi tanah. 2) Aku ( Yang Haq ) yang Abadi yang hidup dengan Kayad Hayun, yang tidak merasa sakit dan susah yang mempunyai 20 sifat. Aku mempunyai sifat Jalal dan Kalam. Inilah yang dianggap sebagai Tuhan. Wujud Aku bersama aku, tetapi juga terpisah dengan aku. sifat-sifat-Nya menyusup dalam aku.
 Ajaran Syech Siti Jenar mengangggap bahwa raga yang digunakan untuk hidup ini adalah bangkai. ia mengatakan bahwa hidup ini adalah ”mati” yang mendapatkan siksa ( karena merasa sakit, susah,dan sebagainya ),hal ini seperti di ungkapkan dalam suluk Syeh Siti Jenar sebagai berikut :
Siti Jenar pemengkuning urip
Nyipta rinten-ratri maot purwaning kuna idhup
Ngunandika pangeran Siti Brit
Ngungun rumaket pejah
Kyeh nraka kerasuk
Lara lapa adhem panas
Putek bingung risi susah jroning pati
Seje urip kang mulya
( Syech Siti jenar memandang bahwa dunia ini adalah kematian ,siang-malam memikirkan maut,tetapi merupakan awal dari kehidupan. berfikir Pangeran Siti Brit, terheran bahwa dekat dengan mati banyak yang masuk neraka, merasa sakit susah, panas dingin, kebingungan, risi, susah di dalam mati ).
Karena hidup di dunia dianggap sebagai mati, tujuan di dunia ini ialah mencapai kehidupan yang lepas, yakni kehidupan dengan kayad kayun, suatu kehidupan yang sejati, hidup sebagai Aku,yang bersifat ilahi.
Urip Sak jroning Pati, Pati Sak Jroning Urip ( Sumber : Sastra Sufistik : Bani Sudardi : Hal 102 ).
Bagaimana menurut Anda tentang Suluk Syech Siti Jenar ini?

<> Wuquufu al Qolbi Hadlir ila Robby


Pengertian wuquufu al-qolbi hadir ila robby

Hubungan segala sesuatu selain Allah (mahluk) sudah seharusnya tidak memalingkan perhatiannya dari Allah SWT, walau sesaat pun. Begitu terputus dari segala macam ikatan, hanya hubungan dengan Allah saja yang mesti ada dan tersisa dalam hati sanubari. Dalam ungkapan lain, semua hubungan mestilah berasal hanya dan cuma satu saja, yang disebut oleh kaum Sufi tentang hadlir ilalloh terus menerus, senantiasa merasakan panggilan & KehadiranNYA di setiap gerak nafas mahluk yang begitu dekat melebihi dekatnya sesuatu yang paling dekat dengan diri mahluk, atau Kontemplasi Ilahi.
Seperti diungkapkan seorang penyair darwisy :Kehidupan dan hatiku sibuk dengan diriMu, dan mataku mengerling ke kanan dan ke kiri (muroqobah ma’iyah ‘ala haqiqoti al-ruh)Agar saingan-sainganku tidak tahu (fana’ kullun), bahwa Engkaulah sesungguhnya KekasihKU
Sesudah mengutip ayat-ayat Alquran ini, saya akan menyebutkan beberapa hadis Nabi Muhammad mengenai kewajiban mengerti (‘arif) Allah berikut segala keuntungan dan manfaat serta kefana’an diri yang diperoleh dariNYA barulah mahluk bisa mengingat dengan sebenar-benarnya mengingat.
Abdullah bin faqir
Seseorang berkata, “Ya Rasul Allah, aku demikian banyak terbebani oleh perintah-perintah dalam Syari’ah. Berilah aku nasihat ihwal sesuatu yang mesti kupegang erat-erat”. Nabi bersabda, “Hendaknya lidahmu tidak pernah berhenti mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah sampai kau terpanggil dan fana’u al-fana’ ila baqo’u al-ilahiyah dengan seluruhnya”
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Maukah aku beritahukan kepadamu amalan-amalan yang dipandang oleh Tuhanmu sebagai lebih baik dan lebih utama, yang menjadi sarana menaikkan derajatmu dan yang lebih baik ketimbang memberi sedekah berupa emas dan perak dan bahkan lebih baik ketimbang memerangi musuhmu, entah dalam keadaan membunuh mereka atau terbunuh mereka ?”. Mereka menjawab, “Ya”. Nabi bersabda ; “Mengingat Allah / dzikrul ilaahi”.
Seperti diungkapkan seorang penyair :
Kuucapkan nama-Mu dan kubakar kehidupanku,
Hingga sampai titik keADAManku.
Aku laksana lilin, dalam api, lantaran lidahKU ku mampu memujaMU.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda : “Tak ada sesuatu pun yang lebih efektif dalam menyelamatkan diri kita dari hukuman Allah selain mengingat-Nya”. Orang-orang bertanya, “Tidak jugakah berjuang di jalan Allah akan menyelamatkan diri kita ?”. Beliau menjawab, “Tidak, tidak ada satu amalan pun bisa menyamai zikir atau mengingat Allah, sekalipun para prajurit menggunakan pedangnya sedemikian rupa sehingga pedang itu patah”.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw
bersabda : “Orang-orang yang tidak terikat dan bebas ( hurrin / merdeka lahir bathin pada kepasrahan ) sudah lebih dulu unggul”, sabda Nabi SAW dan Orang-orang bertanya, “Ya Rasul Allah, siapakah orang-orang yang tidak terikat dan bebas itu ?”, Beliau menjawab, “Laki-laki dan perempuan yang tidak henti-hentinya ingat setelah ‘arif billah”.
Seperti diungkapkan oleh seorang penyair Sufi :
Hati seorang Mukmin beroleh kegembiraan
dari kebahagiaan iman,
Kebahagiaan iman memberikan kebahagiaan
kepada kaum Mukmin.
Semua kegembiraan lainnya pun terlupakan,
Disaat kaum ahli bathin memperoleh kebahagiaan
dari mengingat Allah.
Anas meriwayatkan langsung, dari Rasulullah, “Allah SWT berfirman, ‘Aku senantiasa bersama pikiran hamba-Ku dan bersamanya manakala ia mengingat-Ku. Manakala ia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku juga mengingatnya dalam hati-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam sebuah majelis dan majelis ini lebih baik
dari majelisnya”.
Janganlah melupakan Allah, agar engkau terpanggil menjadi kekasihNYA. Jika engkau pernah mengingat-NYA setelah melihatNYA, pasti engkau telah terpanggil & dipilih untuk menjadi KEKASIHNYA tanpa washilah.
Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah saw, bersabda “Allah SWT berfirman, ‘Aku bersama hamba-KU manakala ia mengingat-KU dan bibirNYA hanya bergerak menyebut-nyebut nama-KU”.
Al-Qusyairi meriwayatkan dari Anas, “Nasib malang tidak akan menimpa orang yang mengatakan, BILLAAHI, LILLAAHI, MA’ALLOHI, WA ILALLOHI KULLUHUM AJMA’IINA”.
Dalam sebuah hadis lain diriwayatkan ; “Hari Kiamat akan terjadi jika Allah, Allah tidak lagi diucapkan di muka bumi”.
Seorang yang ‘ARIF billah bisa disamakan dengan orang hidup dalam kubah alloh ( kesadaran ), dan seorang yang tidak ‘Arif billah bisa disamakan dengan orang mati / mayat berjalan, yakni orang-orang yang ‘ARIF billah adalah hidup dalam panggilan kefana’an tauhid dan orang yang tidak ‘arif billah adalah mati (bangkai berjalan).
Sesudah mengetahui titik nuqoth yang ditegaskan pada BIKAANA BI YAKUUNU BIKUN BIHI maka berbagai MANFAAT dan HIKMAH, bisa Kita fahami dengan sebenar-benarNYA.
Dzikir adalah piagam Panggilan Allah. Barangsiapa diberi anugerah dzikir Haqqullah, maka yang demikian itu berarti bahwa ia sudah diberi perintah berikut, “Engkau memang benar-benar haqqi”.
Di sini lalu timbul pertanyaan : Mengapa dzikir atau mengingat Allah, yang demikian mudah dan sama sekali tidak susah, dipandang sebagai lebih bermanfaat dan lebih unggul ketimbang bentuk-bentuk ibadah lainnya yang memerlukan tindakan yang
sulit dan sukar ?. Imam al Ghazali memberikan jawaban sebagai berikut :
Kenyataan ini bisa ditetapkan melalui pengetahuan & pengalaman mistis/sepiritual, akan tetapi, sejauh pengetahuan & pemahaman praktis aqal, bisa dikatakan bahwa hanya dzikir atau mengingat Allah saja yang efektif dan bermanfaat, yang senantiasa dan terus-menerus dilakukan disertai kehadiran ( Allah ) dalam jiwa dan pikiran. Akan halnya dzikir atau mengingat Allah secara verbal dan hati disibukkan dengan permainan dan senda gurau saja tanpa isi, dzikir panggilanNYA dalam keadaan suci ,batal,sibuk,bercanda bekerja,berdiskusi tanpa di batasi oleh gerak lahir & bathin.
Hadis Nabi memperkuat pandangan ini. Sebagaimana diungkapkan seorang penyair darwisy :
Jika engkau tidak mengerti di saat mengingat Allah, Sebelum mengenali haqiqatnya (haqqu al-rububiyah). Meskipun engkau sibuk sepanjang hayatmu, maka engkau tak beroleh apa-apa kecuali kesesatan belaka dan dirimu tiada sadar merasa mengingat sesuatu yang belum pernah engkau melihat dan mengenalinya
Namun engkau telah menyebut dan merasa telah dzikir kepadaNYA.
Itulah CIRI-CIRI haqiqat MUNAFIQ, belum mengenal namun telah merasa mengingat al-haq. Namun, mengingat dzat Kekasih dengan panggilanNYA kekasih untuk kekasihNYA dalam kerelaan UBUDIYAH AL-RUBUBIYAH senantiasa bermanfaat dan selalu berguna sepanjang masa.
{يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا الأَلْبَابِ} (البقرة/269).
“Allah berikan HIKMAH kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi HIKMAH, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak” (Al Qur’an, Surah Al Baqoroh, 2:269)
 Wuquufu al Qolbi Hadlir ila Robby

<> Metode untuk Makrifat dengan Tuhan


Metode untuk Makrifat dengan Tuhan   Dalam Surat Al-Kahfi ayat 110, Allah berfirman:  “Maka barang siapa yang ingin menemukan Allah, maka hendaklah ia mengerjakan amalan baik dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadah kepada Allah.”

Ayat di atas itulah yang  menjadi pegangan mereka untuk mencapai tujuan ber makrifat dengan Tuhan . Para sufi menempuh berbagai  metode yang membawa mereka pada kondisiberpadu dengan Tuhan atau makrifat dengan Tuhan
Untuk mencapai Hakekat (liqa) bermakrifat dengan Tuhan, Kaum Sufi  mengadakan kegiatan batin, riadhah/latihan dan mujahadah/perjuangan rohani. Perjuangan seperti ini dinamakan suluk, dan yang mengerjakannya dinamakan salik. Liqa Allah menjadi perhatian utama para sufi, seperti halnya Imam Ghozali membawa pengikutnya kepada Liqa bertemu dengan Tuhan/ makrifat dengan Tuhan ,
Metode yang para tersebut adalah:
  • Hulul (Tuhan menjelma ke dalam Insan) seperti ajaran Al-Hallaj. Katanya: “keinsananku tenggelam ke dalam Ketuhanan-Mu, tetapi tidak mungkin percampuran, sebab Ketuhanan-Mu itu senantiasa menguasai akan Keinsananku”.
  • Al-Isyraq ( Cahaya dari segala cahaya), seperti ajaran Abul Futuh Al-Suhrawardi. Beliau berkata, “Tujuan segala-galanya satu juga,  yaitu menuntut Cahayanya kebenaran dari Cahaya segala cahaya, yaitu Allah.
  • Ittihad ( Tuhan dan hamba berpadu menjadi satu), seperti ajaran Abu Yazid Bustami, Beliau berkata, ” Kami telah melihat Engkau maka Engkaulah itu, dan aku tidak ada disana“.
  • Ittisal (Hamba dapat menghubungkan diri dengan Tuhan) dan menentang faham Hulul dari al-Hallaj.
  • Wihdatul Wujud (Yang ada hanya satu) seperti ajaran Ibnu Araby, beliau berkata, “Al-Abidu wal Makbudu Wahidun” Yang menyembah dan yang disembah itu Satu.
  • Metode menurut Imam Ghozali, bahwa Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada Wujud melainkan Allah dan perbuatan (ciptaan) Allah.  Allah dan perbuatannya adalah dua bukan satu. Alam ini adalah makhluk dan bukti adanya Khalik.
Walau para Sufi  menggunakan metode yang berbeda, tetapi pada akhirnya metode mereka itu dapat mengantarkannya pada kondisi Makfifat .

<> Penciptaan Nur Muhammad Awal Terciptanya Semua Makhluk


Sebelum semua makhluk diciptakan Allah, Nur Muhammad lah yang pertama kali diciptakan. Di dalam hadits qudsi Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad saw: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenal kemudian Aku ciptakan alam (makhluk) agar Aku bisa dikenal. Dengan merenungkan tanda-tanda alam dan ayat-ayat Al Qur’an kaum muslimin dapat memperoleh kilasan aspek Ke-Ilahian yang telah dituangkan di alam semesta yang oleh Al Qur’an disebut sebagai wajah Allah (wajh-Allah).

Di dalam hadits qudsi tersebut di atas terdapat kalimat yang berbunyi: Kemudian Aku ciptakan alam (makhluk)….. Ini masih berbentuk cahaya dan cahaya itu terbagi-bagi sebagaimana pendapat Ka’ab bin Akbar ra dalam kitab yang berjudul Madari: Yusu’ud (tangga-tangga kenaikan) yang di tulis oleh Syeh Nawawi pada halaman 2 s/d 3, yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: berkata Ka’ab bin Akbar ra:
Ketika Allah hendak menciptakan Maujudat / makhluk, menghamparkan bumi dan meninggikan langit. Allah menggenggam seganggam dari nurNya dan berfirman: Kun Muhammad, maka jadilah segenggam nur tadi menjadi sebuah tiang dari nur yang memancarkan cahaya sampai menembus hijab-hijab kegelapan. Lalu tiang itu bersujud dan berkata: Allahu Akbar. Allah berfirman kepada tiang nur itu: “Aku ciptakan kamu dan Aku beri nama kamu Muhammad. Darimu Ku awali semua makhluk, dan darimu Ku akhiri semua para utusan”. Kemudian Allah membagi empat bagian. Kemudian Allah ciptakan Lauhil Mahfud dari bagian pertama. Lalu Qalam dari bagian yang kedua. Allah berfirman : kepada Qalam, “Tulislah !” maka bergetarlah Qalam seribu tahun kedahsyatan kedahsyatan kitabullah. Lalu Qalam berkata, “Apa yang harus aku tulis ?” Allah berfirman : “Tulislah Lailaaha Illallah Muhammadurrasulullah”. Maka Qalam menulis kalimat itu. Lalu Qalam diberi petunjuk tentang ilmu Allah yang berkaitan dengan makhluk, kemudian Qalam menulis, Anak cucu Adam dari sulbinya; siapa yang taat kepada Allah akan masuk surga, siapa yang maksiyat kepada Allah akan masuk neraka. Umat Nuh; siapa yang taat kepada Allah masuk surga…Umat Ibrahim; siapa yang taat kepada Allah, masuk surga, siapa maksiat…Umat Musa; siapa yang taat kepada Allah masuk surga, siapa maksiat kepada Allah ….Umat Isa; siapa yang taat kepada Allah masuk surga, siapa maksiyat kepada Allah…Umat Muhammad; siapa yang taat kepada Allah masuk surga, siapa maksiyat kepada Allah….ketika Qalam mau menulis kalimat berikutnya ( masuk neraka ) tiba- tiba ada seruan dari Yang Maha Tinggi: “Hai Qalam beradablah kamu”. Maka pecahlah Qalam karena karena kedahsyatan seruan itu, dan sobek ujungnya berbentuk garis lurus, dengan tangan kudrat maka jadilah adap. Qalam tidak bisa menulis kecuali pecah bergaris ujungnya. Lalu Allah berfirman: “Tulislah, umat berdosa Tuhan Maha Pengampun” kemudian Allah menciptakan Arasy dari bagian yang ke tiga. Dari bagian yang ke empat menjadi empat bagian:
1. Bagian kesatu dijadikan akal
2. Bagian kedua dijadikan ma’rifat ( agar dapat mengetahui)
3. Bagian ketiga dijadikan cahaya Arsy dan sinar penglihatan serta seluruh cahaya termasuk siang ( matahari), sinar malam( bulan dan bintang). Semua cahaya ini berasal dari Nur Muhammad, Nur Muhammad adalah awal segala makhluk
4. Bagian yang ke empat dititipkan di bawah arasy, sampai Allah menciptakan Adam. Kemudian Allah menitipkan bagian itu (nur Muhammad) pada punggung Adam, bersujudlah para Malaikat.
Kemudian Allah memasukkan Adam ke surga, para Malaikat berbaris rapi di belakang Adam, menyaksikan nur tersebut. Adam berkata: “Ya Allah kenapa para Malaikat berkumpul di belakangku?” Allah berfirman : “Wahai Adam mereka melihat nur kekasihku Muhammad penutup para utusan yang Aku keluarkan (pancaran cahaya) dari punggung mu” Adam berkata: “Ya Tuhan jadikan nur itu di depan saya, supaya saya bisa melihat dan berhadapan dengan malaikat”. Maka Allah memindahkan nur itu pada dahi nabi Adam, Malaikat berbaris di depan Adam. Adam berkata: “Ya Tuhan, jadikan Nur ini di tempat yang aku bisa melihat. Maka Allah jadikan Nur itu pada telunjuk Adam. Adam bisa melihat Nur itu bertambah bagus, megah dan Adam mendengar Nur itu bertasbih penuh keagungan, kemudian Nur itu pindah ke Hawa (istri Adam), seperti matahari yang bersinar.
Kemudian ditentukan permulaan para utusan dari Nabi Sis as. Maka hilanglah Nur itu di wajah Hawa pindah ke Nabi Sis as. Lalu Adam mengambil sumpah Nabi Sis as. Bahwasanya: “Tidak akan menyimpan Nur itu kecuali dari yang suci ke yang suci, dari yang mulia ke yang mulia,” sampai pada sulbi Abdullah bin Abdul Mutholib. Kemudian Allah mengeluarkannya ke dunia ini dan menjadikannya Raja para Utusan Rahmatan lil alamin dan seorang panutan yang memancarkan cahaya yang terang benderang.
Demikian dikala Nabi Muhammad saw. Diturunkan ke dunia, beliau disinari cahaya yang terang benderang sehingga, cahaya matahari yang menyinarinya tidak bisa memberi bayangan, dikarenakan cahaya Nur Muhammad lebih terang dari pada sinar matahari, itu terjadi di sepanjang hidup sampai beliau wafat. Dan siapa generasi penerusnya setelah Rasulullah saw. wafat?
Melihat dari sumpah Nabi Adam as. yang berbunyi tidak akan menyimpan Nur itu kecuali dari yang suci ke yang suci, dari yang mulia ke yang mulia. Mengingat risalah yang di bawa oleh Rasulullah saw. Dan dilanjutkan para pewarisnya yaitu para sahabat, para wali yang suci, dan para tabiin serta para ulama’ (yang disucikan dan yang dimuliakan oleh Allah swt.)
Jadi manusia yang dititipi Nur Muhammad, adalah orang-orang yang suci dan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah swt. Adapun orang- orang yang mensucikan diri sehingga ia mencapai pada tingkat kesucian ruh mereka diberi petunjuk untuk menuju ke jalan yang sampai kepada ruhnya ruh Nur Muhammad, karena ruh tercipta dari percikan Nur Muhammad dikala bersujud dan bertasbih kepada Allah selama ribuan tahun. Sumber dari Penciptaan Nur Muhammad Awal Terciptanya Semua Makhluk: Makrifat Haji
Tambahan dari komentar:
Keterangan berikut adalah suntingan dari kitab ‘Sirrul Asrar Fi Ma Yahtaju Ilayhil Abrar’ oleh Ghawthul A’zham Shaikh Muhyiddin Abdul Qadir Jilani رضي الله عه
Maka berkata Shaikhuna; tentang
… Nur Muhammad (iaitu hakikat Muhammad) – atau ringkasnya asal kejadian.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kamu kejayaan di dalam amalan-amalan kamu yang disukaiNya dan Semoga kamu memperolehi keredaanNya. Fikirkan, tekankan kepada pemikiran kamu dan fahamkan apa yang aku katakan.
Allah Yang Maha Tinggi pada permulaannya menciptakan cahaya Muhammad daripada cahaya suci Keindahan-Nya. Dalam hadis Qudsi Dia berfirman;
“Aku ciptakan ruh Muhammad daripada cahaya Wajah-Ku”.
Ini dinyatakan juga oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dengan sabdanya:
“Mula-mula Allah ciptakan ruhku. Pada permulaannya diciptakanNya sebagai ruh suci”.
“Mula-mula Allah ciptakan qalam”.
“Mula-mula Allah ciptakan akal”.
Apa yang dimaksudkan sebagai ciptaan permulaan itu ialah ciptaan hakikat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم; kebenaran tentang Muhammad yang tersembunyi. Dia juga diberi nama yang indah-indah.
Dia dinamakan Nur, cahaya suci kerana dia dipersucikan dari kegelapan yang tersembunyi di bawah sifat jalal Allah.
Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
قَدْ جَآءَكُمْ مِّنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَـبٌ مُّبِينٌ
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu dari Allah, cahaya dan kitab yang menerangkan”. – Al-Maaidah, ayat 15
Dia dinamakan aqal yang meliputi (akal universal) kerana dia telah melihat dan mengenali segala-galanya.
Dia dinamakan qalam kerana dia menyebarkan hikmah dan ilmu dan dia mencurahkan ilmu ke dalam huruf-huruf.
Roh Muhammad adalah zat atau hakikat kepada segala kejadian, permulaan dan kenyataan alam maya. Baginda صلى الله عليه وسلم menyatakan hal ini dengan sabdanya;
“Aku daripada Allah dan sekalian yang lain daripadaku”.
Allah Yang Maha Tinggi menciptakan sekalian roh daripada roh baginda صلى الله عليه وسلم di dalam alam kejadian yang pertama, dalam bentuk yang paling baik. ‘Muhammad’ adalah nama kepada sekalian kemanusiaan di dalam alam arwah. Dia adalah sumber, asal usul dan kediaman bagi sesuatu dan segala-galanya.

<> Jalan Pintas Menemui Allah



Suatu ketika berkumpul berdua antara Nabi saw dan Shahabat Ali ra : “Ya Rasul, adakah jalan pintas menemui Allah?”. Padahal sebenarnya Shahabat Ali pasti mengetahui banyak cara untuk menemui Allah: Bekerja karena Allah, Shalat Sunnah dan shalat wajib karena Allah, sedekah wajib atau sunnah karena Allah dan lain-lain. Itu merupakan contoh-contoh jalan menemui Allah. Tapi anehnya mengapa ada pertanyaan : “Adakah jalan singkat menemui Allah”. Kemudian Rasulullah Saw menjawab singkat: “Ada!” Lalu pintu ditutup dan diberikanlah cara-caranya : ini, ini, dan ini”. Dengan senangnya, Sayiddina Ali memberi tahu cara yang baru saja disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada Abu Bakar Siddiq ra. Kemudian Abu Bakar Siddiq ra memberitahukan kepada Tabi’in, dari Tabi’in memberitahukan kepada tabi’it-tabi’iin, terus-menerus ilmu itu disampaikan hingga saat ini…….
Jalan Pintas Menemui Allah

<> Makna Bismallah



Dalam suatu hadits Nabi saw. Beliau bersabda, ” Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur’an. Dan seluruh kandungan Al-Qur’an ada di dalam Al-Fatihah. Dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillahirrahmanirrahiim.”
Bahkan disebutkan dalam hadits lain, “setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa’, dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa’”.
Sebagian para Arifin menegaskan, “Dalam perspektif ahlul ma’rifatullah , ” Bismillaahirrahmaanirrahim” itu kedudukannya sama dengan “kun” dari Allah”.
Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai Bismillahirrahmaanirrahiim banyak ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi gramatikal (Nahwu dan sharaf) ataupun segi bahasa (etimologis), disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur’an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa’, manfaat dan rahasianya.
Tujuan tulisan ini bukan mengupas semua itu, tetapi lebih pada esensi atau hakikat makna terdalam yang relevan dengan segala hal di sisi Allah swt, Pembahasannya akan saling berkelin dan satu sama lainnya, karena seluruh tujuannya adalah Ma’rifat kepada Allah swt.
Kami memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas. Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa’ adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala. Sebab huruf itu sendiri tersusun dari titik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala.
Kerangka hubungan antara huruf Baa’ dengan Tititknya secara komprehensif akan dijelaskan berikut nanti. Bahwa Baa’ dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Basmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Baqarah. Huruf Baa’itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur’an mesti diawali dengan Baa’ sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa’, akhirnya pada titik .
Hal yang sama , Allah SWT dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta’ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya,  titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj lainya. Sebab ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf. Maka,camkanlah, dengan adanya batin dari Ghaibnya sifat Ahadiyah.
Misalnya anda membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa’ dengan dua titik, lalu Anda menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’,  maka yang Anda baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri, sebab Taa’ bertitik dua, dan Tsaa’ bertitik tiga tidak terbaca, karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya Anda membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah.
Bahwa Anda mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya Anda mengenal-Nya dari Allah swt. Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada ttik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa’,karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa’ itu sendiri tidak tampak (Titik berdiri sendiri). Titik di dalam huruf Baa’ tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya.
Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya Anda bisa mengatakan bahwa Baa’ itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan’ dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tengahnya.
Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan.
Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt. menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw. adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah.
Anda masih ingat ketika Nabi saw. diisra’kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman. Sedangkan huruf Alif, —walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya — Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga: Panjang, Lebar dan Kedalaman.
Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif,seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf.
Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama (titik di atas) menempatip osisi “Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya) kecuali melihat Allah di sana”.
Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, ”Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya.” Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, “Aku tidak melihat sesuatu” sementara Titik putih menemptai “Kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”
Alif menempati posisi “Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Alllah.” Kalimat “sesungguhnya” menempati posisi arti “Tidak”, dengan uraian “Sesungguhnya orang-orang berbaiat” kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah.”
Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibaiat, lalu dia bersyahadat kepada bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbaiat kecuali berbaiat kepada Allah. Artinya, kamu sebenarnya tidak berbaiat kepada Muhammad saw. tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari Khilafah tersebut
Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, “Tafsirul Qur’anil Karim” menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta’ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.
Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian “Tidak membuat penyifatan”.
“Ar- Rahman” adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.
“Ar-Rahiim” adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, “Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat”.
Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak”.
Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi – alaihimus salam – meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.
Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, “Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa”. (Al-hadits).
Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.
Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.
Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.
Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af ‘aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.
Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.
Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa’, “dari mana hilangnya Alif itu?” Maka Rasulullah saw, menjawab, “Dicuri oleh Syetan”.
Diharuskannya memanjangkan huruf Baa’nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, “Manusia diciptakan menurut gambaran Nya”.
Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af’aal. Af’aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.
Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af’aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af’aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim”.
Tauhidnya af’aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, ” Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu “.
Sumber : Tafsirul Qur’anil Karim, karya Ibnu Araby

Selasa, 16 April 2013

> Meditasi Menuju Kemanunggalan


Meditasi menuju Kemanunggalan ~ Apa yang  sampaikan ini hanyalah sebagai pondasi atau landasan dasar perjalanan menuju Allah, menurut ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Jadi, setelah memperoleh pengalaman spiritual dari lelaku di bawah ini, bukan berarti bahwa perjalanan spiritual sudah diperoleh sempurna. Akan tetapi paling tidak, dengan pengalaman ma’rifat dasar berikut ini akan menjadi awal yang sangat baik untuk melanjutkan lelaku dan pengalaman spiritual lebih lanjut.

Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka praktik meditasi (khalwat, I’tikaf, atau Tahannuts) dilaksanakan dengan urutan-urutan berikut:


a.    Mandi mensucikan jasmani dan rohani niat,”Bismillahirrahmanirrahim. Niyatingsun ngedusi seduluringsun papat, lima pencer, kenem Bumi, kapitu Rasul, Allahu amalkah. Niyatingsun ngedusi badan jasmani, resik jaba suci jero. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.”

b.    Melaksanakan meditasi yang disebut sebagai shalat ma’rifat, dengan tata cara berikut:

1.    Dimuali dari Tafakur atau pemusatan pemikiran dan hati.
Melakukan meditasi sampai ke tubuh, hati, dan pemikiran hingga mencapai gelombang alfa (hening, tenang, tentram, dan damai)

Cara melakukan tafakkur
§         Mengambil napas sekuat mungkin, kemudian napas ditahan   dibagian bawah perut.
§         Membaca wirid dalam hati (kalbu, batin),”Allah, Allah, Allah...” sambil melepaskan nafas secara perlahan-lahan.


“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (QS. 7: 205).”

§         Dilakukan sekitar 10 x – 41 x, sampai mencapai gelombang alfa.
§         Boleh membaca Asma’ Allah yang lain, sesuai keinginan kita, (utamanya asma ul-husna).


Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) ....
(QS. 17: 110).“

2.    Membaca surat Al-fatihah
Caranya: dilakukan dengan menahan napas, cukup 1 – 3 kali.

3.    Mengucapkan niat (afirmasi) dan permohonan do’a iftitah.


"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau(Q.S. 7: 143)".
“ Ya allah, aku berhasrat menemui dan mengenalmu, jika engkau izinkan, tunjukanlah wajah-Mu padaku, agar aku dapat menyaksikan-Mu (bermusyahadah).

Dilakukan dengan menahan nafas, mengucapkan niat dengan tulus ikhlas, kemudian melepaskannya secara perlahan-lahan.

4.    Membaca Sholawat satu kali, istighfar 3 kali, dan membaca “Hu-Allah” 3 kali.
Dilakukan dengan menahan napas, dan setelah selesai dikeluarkan perlahan-lahan.

5.    Menutup 9 lubang (babahan nawa/hawa sanga), mati sakjeroning urip.

6.    Kembali ke posisi duduk rileks dan mengatur napas, sambil ber-dzikir dalam hati. “Hu – Allah” sebanyak 7 kali.

7.    Membaca: Sahadat Allah “Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahaya, lebur cahaya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sejati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.”

8.    Membaca: “Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun,  illallah-pangeraningsun, satuhune ora ana pangeran anging ingsun, kang badan nyawa kabeh” dengan menahan napas.

9.    Selesai melakukan meditasi, ritual ditutup dengan bacaan,”Sabda sukmo, adhep-idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”
(sumber: ajaran ma’rifat Syekh Siti jenar)

Jumat, 12 April 2013

> Fana


1. Pengertian Fana
Kebanyakan kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti ‘binasa’ dan ‘hapus’ untuk memperihalkan tentang maksud fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti ‘lebur’, ‘larut’, ‘tenggelam’ dan ‘lenyap’ dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang ‘hal’ atau ‘maqam’ fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah disebutkan erti fana itu ialah;
Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af’alnya/perbuatannya(fana fil af’al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
“Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah”.
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang ‘fana’ ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai ‘Pintu Gedung Ilmu’. Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana. Antaranya :
“Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan”.
Demikianlah ‘fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah(Salik). Firman Allah yang bermaksud:
“Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
  • Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
  • Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya memfanakan diri.
Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan “fana” fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
“Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari.”
2. Kata-kata Hikmah Dari Wali-wali Allah yang telah mengalami FANA
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
  • “Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?”. Abu Yazid menjawab: “Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang”.
  • Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
  • “Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segala-galanya”.
  • Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
  • Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga.”
Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:
  • Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana(hapus diri)
  • Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan ‘mematikan diri’ ialah kesufian.
  • Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah(mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan Kata-kata Hikmat Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;
“Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya.” dan “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekelian pada sifat Allah. Maka iaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
4. Pesanan Dari Suluk
Hakikat tidak akan muncul sewajarnya jika syariat dan thorikat belum betul lagi kedudukannya. Huruf-huruf tidak akan tertulis dengan betul jika pena tidak betul keadaannya.
Dari itu saudara-saudaraku anda seharusnya banyak menuntut dan mendalami ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan syariat , usuluddin dan asas tasauf untuk mendekatkan diri dengan Allah .
                                                                             — oo — Sifat Kaum Sufi dan Siapa Mereka?
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Adapun sifat sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima – dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri – rahimahullah – ketika ditanya, “Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?” Ia menjawab, “Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi.”
Dzun Nun al-Mishri – rahimahullah – ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, “Seorang Sufi ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya.” DzunNun juga pernah mengemukakan, “Orang-orang Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.”

Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, “Siapa yang pantas menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab, “Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat Anda merasa bangga (ujub).”
Al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”

Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, “Kaum Sufi ialah orang yang mendengar sama’ (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab).”
Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara’ (orang orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt. telah menyebut mereka dengan fuqara’ dalam firman Nya:
“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).” (Q.s. al Hasyr:8).

Dan firman Nya pula:
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah.” (Q.s. al Baqarah: 273).

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla’ – rahimahullah – ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, “Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi.”
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi.
Abu Hasan al Qannad rahimahullah ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Kata itu berasal dari kata Shafa’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla dalam setiap, waktu dengan penuh setia.”

Sebagian yang lain berkata, “Sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.” Ada pula yang lain ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Makna Sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan.”
Syekh Abu Nashr – rahimahullah – berkata: jika Anda ditanya, “Siapa pada hakikatnya kaum Sufi itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban, “Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.”

Abu Hasan al Qannad – rahimahullah – berkata, “Tasawuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual.”
Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli – rahimahullah – ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama demikian. Ia menjawab, “Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka. Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka.”

Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw., pent.).
Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.

Ali bin Abdurrahim al-Qannad – rahimahullah – memberi jawaban tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya:
Ketika Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan, ekstase dan riwayat.
Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan indah
Hingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.

Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf.
Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah saw. dalam syariat.
Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit.
Ketiga, jawaban dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Sufi.

Saya pernah bertanya pada al-Hushri, “Siapakah sebenarnya seorang Sufi menurut pandangan Anda.” Ia menjawab, “Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri.”
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab Allah menurut pendapatku semata.”
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Kamis, 11 April 2013

> Makna Alif


Alif terbentuk dari Ulfah (kedekatan) dan ta’lif ( pembentukan). Dengan huruf inilah ALLAH menta’lif (menyatukan) seluruh ciptaanNya dalam landasan tauhid dan ma’rifah dengan kecintaan penghayatan iman dan tauhid.
Sehingga Alif ini membuka makna dan pengertian tertentu dengan banyak bentuk rupa dan warna yang ada pada huruf-huruf yang lain.  Maka jadilah Alif sebagai “Kiswah” (pakaian) bagi huruf lainnya. Itu semua karna kehendak si “Alif ghaib”. 
Huruf saja tidaklah memiliki makna, sebab pengertian tidak terdapat padanya.
Makna dalam dari Alif ibarat nyawa, sedangkan bentuk huruf adalah ibarat raga. Ibarat pohon yang di belah sampai ke akar, dari akar di belah sampai ke biji asalnya. Lalu dari biji asalnya di belah sehingga tiada sesuatu apapun.  itulah hakikat kehidupan. 
Allah menjadikannya berupa (memiliki bentuk), padahal tiada. 
Huruf berupa lisan ketika diucapkan, sedangkan makna adalah pengetahuan yang diketahui sebelum lisan berucap dan berbuat.
Ia sangatlah halus melebihi kehidupan yang fana/tiada. 
Maka jelaslah Alif adalah Huruf yang paling utama, Agung dan Mulia Ibarat Adam, sedangkan Alif di satukan dengan Hamzah. Hamzah itu ibarat Hawa.  Maka lahirlah 28 huruf Hijaiyah seperti lahirnya manusia dari sebab Adam dan Hawa. Sehingga muncul pengertian mudzakar Ibnu (lelaki) dan pengertian mu’annats Binti (wanita). 
Seluruh huruf terlahir dari Alif, karna Alif pada asalnya tegak lurus dimana titik asalnya isyarat bagi penetapan permulaan wujud (ada) yang merupakan lawan dari ketiadaan (adam). Lalu Alif ini ada pada pengelihatan, sehingga melihat yang benar-benar ada. Adapun melihat Dzat itu merupakan cermin ketunggalan sejati yang menurun pada kesejatian diri.
Maka ketika dikaruniakan pandangan ini, melihat keberadaannya di dunia ini dengan cahaya yang terang benderang yang melihat dengan 127 kejadian. Ketika disebut Alif yaitu ketika diri sudah tunggal. Lalu menunjukan apa yang tampak dan terlihat di dirinya sehingga jadilah Alif.  Yang pertama dijadikan oleh Allah adalah titik ke esaanNya,
ketika Ku pandang dengan keAgunganKu maka titikpun menunduk dan mengalir menjadi garis lurus tanpa akhir (Alif). Alif pun dijadikan permulaan Kitabnya dan pembuka huruf karna huruf lain berasal darinya dan tampak pada dirinya.  “IQRO” : adalah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad S.A.W. Yaitu membaca yang dimulai dengan huruf Alif dan diakhiri dengan huruf Alif.
“Iqro” secara hisabiah nilainya 33. Yaitu 3 kali di peluk Jibril A.S.  maka 33 x 3 = 99 Asmaul Husna.  Dengan 99 Asmaul husna inilah Rosulullah s.a.w bisa isro dan mi’raj. Isra’ mi’raj di surah al-isra’, surat ke 17 berjumlah 111 ayat. 111 = 3 alif.”isra” juga di awali dgn huruf “alif ” dan di akhiri juga huruf “alif “ (huruf ” hamzah ” di akhir adalah satu karakter dengan ” alif “).
Dalam kalimah ” isra” ada huruf alif (akhir) dimana di bagian atas ada tanda mad (memanjangkan alif) nilainya 7 an dan nilai 7 ketukan ini adalah sebagai sistem untuk melipat 7 lapis bumi dan naik turun ke 7 lapis langit (mi’raj).  Dengan Alif , titik yang pada mulanya perbendaharaan tersembunyi kemudian tampak dan turun agar dikenal lewat ciptaanNya begitupun mahluk dikenal lewatnya dan di nisbatkan kepadaNya.
Itulah Kholifah yang membawa “AMANAH”. 
Karena dengan nama ALLAH itu adalah BISMI dan ALLAHU, 
Allahu itu adalah Alif,Lam,Ha. Alif lam yang di maksud adalah LAHU = BAGINYA. JAdi Allahu adalah Alif lam baginya (untuknya) ARAHMAN = Alif,Ra,Ha,Mim,Nun maksudnya Alif dan Lam itu rahman demikian juga dengan RAHIIM.
Jadi Alif lam itu seperti halnya cahaya matahari dan rembulan, yang memberi dan menyayangi tanpa syarat.  Alif Lam dalam diriku adalah keadaan TUBADIL dalam sholat. Jadi Alif Lam itu dalam tiap-tiap sebutan ARRAHMAN ARRAHIIM…..dst. Seperti halnya mustaqim/jalan yang lurus dimana terdapat pada diriku yang sempurna sholat.
Yaitu ketika aku menginjak maqom tubadil seperti halnya takbiratul ikhram yang mukharanah (sempurna, dimana lafazh Allah dlm takbirotul ikhram sholat di panjangkan tanpa ada batasan hukum mad 2 harakat sebagai bentuk keagunganNya). 
Berbeda dengan kata “INNA” yg artinya “sesungguhnya” begitu diberi alif sebagai perpanjangan dari huruf nun, maka berubah menjadi jamak/banyak, “innaa” artinya “sesungguhnya kami”. 
Begitu juga “Qul” yg artinya “katakan”, begitu diberi nun dan alif sebagai perpanjangannya, maka berubah menjadi jamak/banyak , “Qulnaa” yg artinya kami berfirman.jadi perubahan dari tunggal menjadi jamak karena adanya imbuhan huruf yg disesuaikan maksud dan tujuannya, bukannya unsur yg memerintah (Allah) yg menjadi jamak.  Subyek = Yang Memerintah tetap TunggalObyek = Maksud dan Tujuan yang menjadi jamak.
Maka AllAH pun Sholat, sedangkan manusia tiada sedikitpun kekuatan sehingga ikut andil dalam perkara sekecil apapun terhadap dirinya. Karna di satu sisi hamba diperkenankan memilih jalan untuk dirinya tapi waktu yang sama ia harus masuk kepada ketetapanNya.  Karna Huruf memiliki tampilan, bahasa dan memiliki aspek lahir dan bathin.
Aspek lahirnya berupa nama dan bentuknya. Aspek bathinnya berupa makna rahasiaNya. Batasnya adalah uraian dari hukum-hukumNya. Serta tampilanNya adalah penyaksian dan penyingkapan.  Seluruh struktur susunan alam semesta itulah yang dinamakan pula sebagai Alif.
Karna seluruh huruf berasal dari susunan pengertian Rahasia hembusan tiupan RuhNya yang mencakup seluruh kata-kata dari hikmah yang menakjubkan dan ilmu-ilmu teristimewa yang ditiupkan kepada adam.  Adam menjadi istimewa karna diajarkan satu Alif oleh Allah, maka ia dapat menyebutkan seluruh nama dalam satu huruf. 
Buat renungan sesama kita yang memang berminat tentang Hakikat, agar dapat difikirkan dengan perlahan-lahan agar mencapai matlamat yang sebenar. Hakikat perkataan adalah alif, (alif adalah satu huruf dalam tulisan jawi, kalau tulisan rumi.. mestilah ‘a’ ), manakala hakikat alif pula adalah noktah, dan hakikat noktah adalah dakwat.

Jikalau dikaji selanjutnya maka hakikat dakwat pula adalah cecair, sedangkan hakikat cecair adalah debu-debu, dan hakikat debu-debu adalah unsur-unsur (atom) dan hakikat unsur adalah Cahaya Allah.
Sedangkan Gelap (tidak diketahui) ialah Cahaya Dzat, …. dalam gelap itulah adalah ‘Air Kehidupan’ (Yang Menghidupkan).
Sebagai misalan,  ….jika anda melihat kepada dakwat, maka dengan sendirinya huruf hilang,…
dan jika anda melihat huruf , maka dakwat hilang…
Sejajar dengan itu cuba difikirkan pula:
Jika ana ada Dia tiada, … dan jika Dia ada ana pula tiada…
“Ketahuilah, barangsiapa di berikan pengetahuan tentang Alif dan mengamalkannya, maka telah diberi pengetahuan tentang rahasia tauhid Wahdaniyah (keesaan) dan naik menuju rahasia Ahadiah (kewujudan)”