Senin, 28 Januari 2013

> MA'RIFAT RASULULLAH SAW

MUNIF
handokoardi@yahoo.co.id
                                                                                                                                                                      Rasulullah Saw adalah mukjizat sejarah. Beliau adalah menara petunjuk bagi orang yang berada dalam kebingungan dan kesimpangsiuran berbagai pemikiran dan pendapat. Kehidupan beliau sebelum kenabian adalah sama statusnya dengan kehidupan beliau setalah kenabian, yakni bisa dijadikan sebagai nasihat, pelajaran, petunjuk dan contoh yang ideal bagi siapa saja yang menginginkan jalan yang lurus dan kokoh.
Orang yang merenungkan kehidupan Nabi Muhammad Saw sebelum beliau diutus menjadi Nabi – sedangkan orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang konsep kenabian, yakni bahwa kenabian itu bukan merupakan sesuatu yang diupayakan, tetapi merupakan suatu anugerah dari Allah Swt – akan menyangka bahwa Muhammad sedang memburu wahyu dan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Yang benar adalah bahwa Allah Swt telah memilih Muhammad dan melebihkannya dari semua yang ada di alam ini. Allah Swt telah memilihnya, ketika hampir tiba saatnya janji Allah Swt untuk mengutus seorang nabi setelah Isa. Allah Swt telah memilih Muhammad untuk mengemban risalah-Nya.
Imam al-Maraghi berkata: “Nubuwwah (kenabian) adalah anugerah yang tidak didapatkan dengan cara berusaha (belajar). Nubuwwah adalah hikmah Allah Swt dan ilmu-Nya. Dua hal ini diberikan kepada orang yang telah siap menerimanya dan mampu memikulnya. Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan tugas kerasulan” (Qs. Al-An’am; 124). Dan Muhammad telah siap untuk membawa risalah ke seluruh alam, kepada manusia dan jin. Muhammad telah siap membawa risalah agama yang sempurna (Islam). Muhammad dijadikan oleh Allah Swt sebagai penutup para nabi dan rasul-Nya, agar Muhammad menjadi cahaya petunjuk sampai saatnya langit ini runtuh, bintang-bintang bertabrakan dan bumi ini diganti dengan bumi yang lain.
Kehidupan Muhammad ini memang telah direncanakan oleh Allah Swt sendiri. Allah Swt telah mempersiapkan Muhammad dalam dua aspek, yakni aspek keturunannya atau keluarganaya dan aspek fitrah atau kematangan pribadinya. Dari segi atau aspek keturunannya, maka kita bisa melihat pada sosok pribadi kakeknya, Abdul Muthalib. Beliau adalah seorang yang berwatak toleran, sabar, dermawan, pandai bergaul dan enak bicaranya. Beliau juga seorang yang memiliki “keimanan” yang kuat dalam hatiya, dan “keimanan” itu mampu mengendalikan dirinya. Suatu keimanan yang berupa “kecenderungan religius” dan tidak berwujud sebagai sebuah agama yang definitif. Namun demikian, beliau betul-betul menghayati kecenderungan religiusnya atau fitrah keagamannya walaupun beliau tidak mampu memahami dan mejelaskan bagaimana fitrah keberagamaannya tersebut.
Beliau adalah seorang pemuda Qurays, namun beliau berbeda dengan pemuda Qurays pada umumnya. Beliau seorang pemuda yang cerdas yang memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat. Beliau seorang yang berkepribadian tegas yang tidak pernah termakan bujuk rayu orang-orang di sekitarnya. Beliau seorang yang sangat religius di tengah-tengah masyarakat yang sinis dan jauh dari nilai-nilai religius.
Watak beliau yang lain yang sangat membedakan dirinya dengan orang lain adalah beliau tidak menghabiskan waktunya untuk berpikir ataupun merenung yang sia-sia, kecuali kalau hal itu bisa mendorong beliau untuk giat bekerja dan berjuang dalam hidupnya. Ada kekuatan tersembunyi yang beliau rasakan, tetapi beliau abaikan perasaan tersebut bahkan sangat mengabaikannya. Namun demikian, keengganan beliau untuk menuruti kekuatan tersembunyi tersebut, justeru memaksa beliau untuk tunduk dan patuh pada perintah kekuatan tersembunyi tersebut.
Kekuatan tersebut telah menjelma dalam dirinya dalam beberapa bentuk. Kadang berupa kekuatan yang mendorong beliau untuk giat bekerja – seolah-olah ini telah menjadi sebuah keinginan yang tidak bisa dibendung lagi – yang menguasai dirinya sehingga beliau tidak mampu menolak dan membantahnya. Kadang-kadang pula, kekuatan itu menjelma dalam wujud seseorang yang sangat jelas dan “bersuara” yang ditemuinya dalam mimpi, dan seseorang itu memerintahkan kepada Abdul Muthalib untuk melakukan ini dan itu.
Suara itu kadang terdengar nyaring jelas, tetapi kadang juga terdengar samar-samar. Abdul Muthalib berusaha untuk tidak mempercayai suara-suara itu dan berusaha untuk mengabaikannya, tetapi suara itu terus menerus terngiang di telinganya, sehingga beliau menjadi takut dan kalut. Namun suara itu membisikkan kepadanya agar tidak berputus asa dan memberikan isyarat-isyarat kepadanya. Suara itu tidak berbentuk ucapan atau perkataan sebagaimana biasa didengar oleh kebanyakan orang, tetapi berupa kata-kata khusus yang aneh didengar dan asing maknanya.
Sedangkan ayah Muhammad, Abdullah, adalah benar-benar mewarisi kepribadian bapaknya, Abdul Muthalib, sebagaimana kata pepatah “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Fatimah al-Khats’amiyah berkata kepada Abdullah: “Sesungguhnya kau melihat dirimu persis seperti bapakmu”.
Dari suku Qurays, dari keluarga Bani Hasyim, dari seorang kakek yang bernama Abdul Muthalib – seorang pemimpin Qurays pada saat itu – dan dari seorang ayah yang bernama Abdullah, lahirlah Muhammad Saw.
Allah Swt telah meimilih Muhammad untuk mengemban rislah-Nya. Sebelum Allah Swt memilihnya menjadi rasul-Nya, Allah Swt telah mengkondisikan pribadi Muhammad sedemikian rupa. Ya, dan inilah periode kehidupan beliau sebelum diutus menjadi Rasulullah.
Periode tersebut adalah periode jihad dan pergolakan batin; antara ketenangan dan kegelisahan yang berlangsung terus menerus; antara kecemasan dan harapan; antara putus asa dan optimisme. Periode kehidupan beliau ini – dalam bahwa tasawuf al-Junaid – adalah masa yang penuh dengan pergolakan dan kekerasan.
Setiap tahun, Muhammad Saw melakukan jihad spiritual yang berkesinambungan selama satu bulan penuh di Gua Hira dengan melakukan khalwat ataupun menyendiri, berpaling secara total dari semua selain Allah Swt. Di dalam gua itu, baik di kegelapan malam maupun di siang bolong, Muhammad berusaha untuk menyingkap hijab dan tirai yang menghalanginya agar matahati beliau mampu menembus alam ghaib dan sampai kepada sidrat al-muntahā, sehingga beliau bisa menyaksikan keagunagn dan kebesaran Allah Swt.
Itulah Rasulullah Saw, seorang yang melakukan perjuangan atau jihad yang sangat hebat yang tidak bisa digambarkan oleh manusia lainnya, apalagi meniru secara persis apa yang telah beliau lakukan.
Itulah Rasulullah Saw yang telah mengerahkan segenap usahanya menuju “tujuan” yang hampir tidak bisa difahami oleh manusia lainnya, apalagi sampai pada “tujuan” tadi.
Itulah Rasulullah Saw, seseorang yang telah melihat bahwa “jalan” itu tidak rata dan sulit untuk didaki, … tetapi semua itu justeru menambah semakin tekad beliau untuk menempuhnya. Itulah jihad yang terbesar – meminjam ungkapan sebuah hadits yang sangat populer untuk menggambarkan jihad terhadap hawa nafsu agar jiwa menjadi suci.
Tahun berganti tahun, tetapi “jihad” yang dilakukan oleh Muhammad tidak pernah berhenti, sehingga beliau menjadi, atau hampir menjadi ruh yang murni, atau seberkas cahaya dari Allah Swt dab berakhir pada maqam al-qurb atau paling dekat dengan Allah Swt. Al-Ghazali menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan: “Keadaan Rasulullah Saw pada saat beliau berada di Gua Hira untuk erkonsentrasi dan beribadah dengan Rabb-nya adalah seperti yang dikatakan oleh orang-orang Arab, bahwa Muhammad sedang tergila-gila dengan Tuhannya.
Setelah itu, turunlah surat al-‘Alaq yang berarti beliau memperoleh tugas kerisalahan, sebagai mukjizat yang bisa mengubah sejarah manusia.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Qs. al-‘Alaq; 1-5)
Dr. Haikal berkata: Muhammad sangat serius dan bersungguh-sungguh dalam tahannuts-nya (menyendiri untuk beribadah secara serius). Beliau merenung dan berfikir tentang semua yang menghimpit pikirannya. Beliau juga bersungguh-sungguh agar memperoleh ketenangan batin dan obat penawar atas kegundahan hatinya dengan cara menyendiri. Beliau melakukan hal ini sebagai perantara untuk mencapai apa yang selama ini beliau rindukan, yakni ma’rifat dan ilham yang bisa menjelaskan kepada beliau tentang penyebab segala sesuatu yang terjadi dan wujud di alam ini.
Di atas bukit Hira – jaraknya sekitar beberapa kilometer di debeleh selatan kota Makah – terdapat sebuah gua. Gua Hira ini merupakan tempat terbaik untuk melakukan ‘uzlah dan ibadah. Dalam setiap tahunnya, selama bulan Ramadhan, Muhammad pergi ke gua tersebut dan berdiam diri di sana dengan hanya membawa sedikit bekal. Dalam Gua Hira ini, Muhammad melakukan perenungan dan ibadah dalam suasana yang jauh dari hingar bingar kehidupan manusia, semata-mata untuk mencari kebenaran. Karena kesungguhan beliau dalam merenung untuk mencari hakikat kebenaran sejati, seringkali beliau lupa makan dan tidak ingta lagi semua yang ada dalam kehidupan ini, karena beliau memandang bahwa kehidupan manusia ini serta apa yang beliau saksikan di sekitarnya bukanlah kebenaran sejati.
Pada saat berusia 40 tahun, beliau – sebagaimana biasanya – pergi ke Gua Hira untuk beribadah. Jiwa beliau penuh dengan keyakinan akan kebenaran mimpi yang pernah dialaminya. Jiwanya benar-benar ikhlas. Sungguh! Allah Swt telah mendidik beliau dengan pendidikan yang terbaik. Beliau sangat mantap hatinya untuk menempuh jalan yang lurus menuju hakikat yang abadi. Beliau menghadap dan berdo’a kepada Allah Swt dengan seenuh jiwa agar Allah Swt memberikan petunjuk kepada kaumnya, setelah mereka bergelimang dalam kesesatan. Demi terkabulnya permohonan beliau ini, beliau beribadah di malam hari dan berpuasa di siang harinya, melatih jiwa dan perasaannya, merenung dan kadang-kadang beliau melepaskan pandangannya dari atas bukit Hira itu ke alam luas yang membentang di hadapannya, kemudian beliau kembali melakukan khalwat-nya agar beliau bisa memeriksa kembali apa yang bergejolak dalam hatinya dan memperoleh kejelasan di balik gejolak tersebut.
Keadaan ini beliau alami selama enam bula sampai akhirnya beliau merasa khawatir atas akibat dari semua itu. Kekhawatiran ini beliau sampaikan kepada isterinya, Khadijah. Beliau juga menjelaskan kepada isterinya itu apa yang dilihatnya. Beliau khawatir, jangan-jangan jin telah memperdayanya. Namun, isteri beliau yang sangat tulus menguatkan hati beliau dengan mengatakan bahwa Engkau adalah al-Amin, maka tidak mungkin jin bisa mendekati dirimu. Sesungguhnya Allah Swt telah mengajak kekasih-Nya ini untuk melakukan riyādlah spiritual sampai datangnya suatu hari yang agung dan berita yang agung pula. Itulah hari turunnya wahyu yang pertama, yang berarti sejak saat itu Allah Swt telah mengangkatnya menjadi seorang Rasul. Itulah hari pada saat beliau sedang tertidur di Gua Hira, beliau didatangi oleh malaikat yang membawa suhuf dan berkata kepadanya: “IQRA’ (bacalah)!”
Kehidupan Nabi Saw sebelum beliau menjadi rasul – yang merupakan perjalanan hidup yang berlangsung di bawah petunjuk Allah Swt – bukanlah ilmu kalam dan bukan pula filsafat rasional. Perjalanan hidup beliau ini menggambarkan kepada kita tentang jalan menuju Allah Swt, yang tidak lain adalah jalan kasyf, jalan ilham, jalan bashīrah, bahkan jalan musyāhadah – sebagaimana dalam pandangan para sufi.
Perjalanan hidup yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada kita secara global ini, telah dipaparkan secara risnci oleh para sufi dengan memakai pendekatan psikologis yang sangat gamblang. Perjalanan itu dimulai dengan perjalanan manusia selangkah demi selangkah sampai akhirnya berada pada satu tingkatan – yang tidak kami katakan sebagai tingkatan terakhir, karena tidak ada kata akhir dalam ma’rifat kepada Allah Swt – dan setelah tingkatan itu, manusia biasa tidak mampu untuk mencapai serta tidak mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata.
Itulah jalan yang oleh para sufi dinamakan dengan manāzil al-sālikin (tempat-tempat para salik); madārij al-sālikin (tangga para sālik) dan manāzil al-arwāh (posisi-posisi ruhani) yang kesemuanya merupakan ungkapan untuk melambangkan maqāmāt dan ahwāl, di mana setiap maqām merupakan pengantar menuju maqām berikutnya dan setiap hāl menjadi pengantar pada hāl yang berikutnya, sampai manusia berada pada jarak yang “dekat” dengan Allah Swt dan bisa ber-musayāhadah serta tenggelam dalam alam malakūt yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Al-Ghazali berkata: “Pertama, jalan tersebut diawali dengan mukāsyafah dan musyāhadah, sehingga meskipun mereka (para sufi) dalam keadaan tidak tertidur (jaga), tetapi mereka bisa menyaksikan para malaikat dan arwah para nabi. Mereka bisa mendengarkan pembicaraan para nabi dan juga bisa mengambil pelajaran dari mereka. Kemudian keadaan (hal) ini meningkat dari menyaksikan (musyahadah) pemandangan-pemandangan dan gambar-gambar menuju satu tingkat atau keadaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar