- Diantaranya sebagai contoh adalah wahyu Allah kepada Ibunda Musa. Di dalam Al-Quran secara tegas bahwa Allah memberi wahyu kepada wanita ini untuk menghanyutkan bayinya ke sungai. Namun isi teks wahyu itu tidaklah menjadi sebuah kitab suci atau pun hadits qudsi. Dan ibunda Musa juga bukan seorang nabi.�Dan kami wahyukan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai . Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya dari para rasul.� (QS. Al-Qashash :7).
- Para pengikut setia nabi Isa as yang dikenal dengan sebutan `hawariyyin` pun disebutkan dalam Al-quran bahwa mereka mendapatkan wahyu dari Allah, namun wahyu disini bukan bermakna sebagai kitab suci melainkan sebagai sebuah ilham atau petunjuk.�Dan ketika Aku wahyukan kepada pengikut ‘Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh “.�(QS. Al-Maidah :111).
- Selain itu Allah juga menurunkan wahyu kepada para malaikat yang teramat setia kepada-Nya.�, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka .� (QS. Al-Anfal :12).
- Bahkan wahyu Allah pun turun kepada binatang, bukan manusia atau nabi saja. Yaitu Allah memberi wahyu yang bermakna petunjuk kepada lebah untuk membuat sarang di bukit dan sebagainya.�Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, (QS. An-Nahl :68)
Hadis Qudsi berbeda dengan Al-Qur�an meskipun kedua-duanya merupakan wahyu Ilahi. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata: �Mesti dijelaskan perbedaan antar wahyu yang dibaca (Al-Wahyu Al-Matluw) yaitu Al-Qur�an dan wahyu yang diriwayatkan Nabi SAW dari Tuhannya Azza Wa Jalla, yaitu hadis-hadis Ilahi atau lebih dikenal sebagi hadis Qudsi.�
Al-Amir Humaiduddin berkata: Perbedaaan antara Al-Qur�an dan Hadis Qudsi ada enam macam:
- Al-Qur�an adalah mukjizat sedangkan hadis Qudsi tidak demikian.
- Sholat tidak sah dilakukan tanpa membaca Al-Qur�an, sedangkan hadis Qudsi tidak demikian
- Orang yang tidak mengakui Al-Qur�an dianggap kufur sedangkan orang yang menentang hadis Qudsi tidak dianggap kufur.
- Bahwasanya pewahyuan Al-Qur�an mesti melalui perantaraan malaikat Jibril, sedangkan hadis Qudsi tidak.
- Lafadz redaksi Al-Qur�an berasal dari Alloh SWT sedangkan redaksi hadis Qudsi bisa berasal dari Nabi SAW.
- Al-Qur�an tidak boleh dipegang kecuali oleh orang yang bersuci sedangkan hadis Qudsi boleh disentuh oleh orang yang berhadas. (Al-Ahadis Al-Qudsiyyah hal 6-7)
Hadits Qudsi kedudukannya adalah sama dengan hadist nabawi yaitu perkataan Rasulullah SAW. Namun sumbernya sama-sama dari Allah SWT juga. Yang membedakannya adalah bahwa dalam hadits itu disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, atau Rasulullah SAW meriwayatkan dari Tuhan-Nya dan keterangan sejenis. Sedangkan dalam hadits nabawi, tidak disebutkan bahwa Allah SWT berfirman begini dan bagini. Namun seolah-olah hanya perkataan Rasulullah SAW saja. Meski pada hakikatnya bersumber dari Allah SWT juga.
Firman Allah dalam hadits qudsi itu diredaksikan kembali oleh Rasulullah SAW ketika menyampaikan kepada para shahabat. Sehingga hadits Qudsi meski bersumber dari Allah sebagaimana hadits nabawi, namun dari segi keredaksian bukanlah murni dari firman Allah SWT. Karena itu hadits Qudsi bukan Al-Quran.
Dalam Al-Quran Al-Kariem, Rasulullah SAW tidak diberi wewenang untuk �mengintervensi` redaksional firman Allah itu. Itu adalah salah satu metode untuk membedakan apakah dia Al-Quran ataukah hadits Qudsi.
Selain itu tentunya Rasulullah SAW sebagai seorang Nabi �bahkan junjungan para nabi- pasti dengan mudah mengetahui dan membedakan mana klasifikasi wahyu yang beliau terima sebagai Al-quran dan sebagai hadits. Yang jelas, kepada para shahabat beliau, apapun yang beliau sampaikan selalu diberikan keterangan selengkapnya, apakah itu termasuk ayat Al-quran atau hadits nabawi atau sekedar pendapat pribadi beliau (ijtihad).
Kalau ternyata lafaz itu bagian dari ayat Al-Quran, beliau jelaskan termasuk surat apa dan ayat nomor berapa. Begitu juga hadits dan lainnya. Sehingga kemungkinan ayat dan hadits itu tertukar adalah 0 %. Dan sangat tidak layak bagi seorang nabi dan juga para shahabat salah dalam menetukan ayat Quran dan hadits.
Selain itu, hadits Qudsi bisa dibedakan dengan ayat al-Quran dengan :
1. Al-Quran Al-Kariem itu jelas dan pasti serta terdaftar dengan cermat di kepala para shahabat bahkan sebagian besar mereka telah menghafalnya. Setiap ramadhan, Rasulullah SAW selalu dites oleh Jibril as. Atas hafalan beliau itu. Para shahabat pun selalu menghafal luar kepala ayat-ayat Al-Quran bahkan mereka tahu persis kapan dan mengapa ayat-ayat itu turun. Sehingga menjadi satu cabang displin ilmu tersendiri yaitu �asbabun-nuzul�.
Cukup mendengar ujung kalimat atau lafaz, maka para shahabat Rasulullah SAW bisa dengan mudah memastikan bahwa itu termasuk ayat Al-Quran atau bukan. Bahkan hal itu tetap bisa dilakukan hingga hari ini oleh umat Islam yang mengenal Al-Quran.
2. Tata bahasa dan keindahan ayat Al-Quran itu sangat spesifik dan tidak bisa ditiru. Seorang arab dengan mudah bisa membedakannya apakah itu keluar dari mulut penyair atau itu memang wahyu yang turun. Bahkan meski ucapan itu keluar dari mulut Rasulullah SAW sekalipun tapi karena redkasinya hanya berasal dari diri beliau sendiri, maka bisa dengan mudah dibedakan dengan ayat Al-Quran Al-Kariem.
Dan untuk membedakannya, tidak perlu harus seorang muslim atau shahabat, bahkan orang-orang arab jahiliyah yang memusuhi Rasulullah SAW pun bisa dengan mudah membedakannya.
Karena itu maka kita bisa membaca dalam sirah nabawiyah adanya pemuka kafir quraisy yang sering tanpa sadar asyik mendengarkan ayat-ayat Al-Quran sehingga mereka malu untuk mengakuinya. Dalam telinga orang-prang arab itu, nyata benar perbedaan wahyu Allah (Al-Quran) itu dengan perkataan manusia.
Oleh karena itu, Al-Quran sendiri menantang siapapun untuk bisa menandingi bahasa dan keindahannya itu, walau hanya dengan sepuluh surat, satu surat bahkan hanya satu ayat saja. Namun hingga hari ini sejak 1400 tahun yang lalu, tak satupun yang bisa menjawab tantangan itu.
3. Memalsu hadits nabawi adalah hal yang bisa dikerjakan oleh para zindiq dan munafiqin. Meski demikian para ulama mamppu menciptakan sistem dan metode untuk menyaring hadits itu dari kepalsuan dan kelemahan periwayatan. Tapi khusus Al-Quran, maka memalsukannya bukan perkara yang mudah. Karena ayat-ayat Al-Quran itu telah diriwayatkan secara mutawatir oleh sejumlah perawi yang sangat banyak jumlahnya di segala peringkatnya (thabaqat) di tempat yang berjauhan dimana secara logika mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Semua ayat Al-quran itu diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits nabawi atau Qudsi itu bisa saja diriwayatkan secara ahad.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
dan ciri ciri yang lebih jelas
A. Secara Lughowi (Harfiyah) Hadits adalah ism masdar, yang fi’il madhi dan mudhori’nya, hadatsa – yahdutsu. Maknanya ada 4 :a. Af’al (Perbuatan)
Dalam hadits arbain dikatakan :
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah J bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak).
Ahdasa diambil dari kata hadits, mengikuti wazan af’ala, yang artinya ’amila ’amalan la minar rasul (mengada-adakan atau melakukan perbuatan lain yang tidak ada dizaman rasul). Jadi hadits disini bermakna perbuatan, dan kalau berubah menjadi ahdasa, maka maknanya berbuat-buat atau mengadakan perbuatan.
b. Akhbar/aqwal (Cerita atau perkataan atau kabar)
Dalam sejarah dikenal istilah haditsul ifki, (cerita bohong), berkenaan dengan tuduhan keji terhadap ibunda Aisyah r.a.
Dan didalam alquran, terdapat 220 kata, hadits serta pecahannya. Yang berarti cerita atau menceritakan. Contoh dalam surat Ad Duha ayat sebelas, Allah berfirma, “Dan terhadap nikmat Robbmu maka hendaklah engkau menceritakannya”.
Dalam penukilan hadits pun, terutama di shohihnya Imam Muslim rahimahullah; dikenal istilah akhbarona dan haddatsana. akhbarona (telah mengkabarkan kepada kami) sedangan ahdasana (telah menceritakan kepada kami).
Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.”
Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh).
Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Tapi secara pokok, artinya sama, mendapatkan kabar/cerita. Pendek kata, secara esensial kata hadits juga berarti juga akbar (kabar).
C. Jadid
Dalam aqidah menurut imam mazhab Asyar’iyah, dikenal ada 20 sifat wajib Allah, ada 20 sifat muhal (mustahil) Allah dan ada satu sifat jaiz. Dan yang kang kedua dari sifat wajib Allah setelah wujud adalah Qidam. Lawannya qidam adalah hadits. Qidam artinya dahulu, sedangkan hadits artinya baru atau ada permulaan. (4) Jadi hadits disini artinya adalah baru, atau ada permulaan. Didalam ilmu fiqh pun dikenal dengan istilah hadats ashghor dan hadats akbar, hadts disini juga bermakna tajdid (memperbaharui/membikin baru lagi).
D. Qorib (dekat)
Dalam bahasa arab, ada kalimah antum haditsun minni bil islam, kamu terasa dekat dengan saya karena islam. Jadi hadits disini, artinya dekat perasaan/hati.
2. Hadits Secara Ishtilahi (definisi)
Hadits (الحديث) adalah segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama (4) serta sifat dari rasulullah lahiriyah maupun bathiniyah (5)
Hadits-hadits Nabi s.a.w. itu dinamakan dengan “Al Hadits” ialah karena ada persesuaian dengan arti dari segi bahasanya yang memberi makna “baharu” lawan kepada “Al Qadim”. Seolah-olahnya apa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. yang dikenali dengan Al Hadits itu adalah sesuatu yang lain daripada Al Quran yang qadim – demikian kata Syeikhul Islam Hafidz Ibnu Hajar.
Sementara Allamah Syabir Ahmad Utsmani berpendapat bahwa hadits- hadits Rasulullah s.a.w. itu sebenarnya merupakan pernyataan Nabi s.a.w. akan nikmat Allah s.w.t. yang paling besar yaitu Islam seperti yang terdapat dalam firman Allah s.w.t. bermaksud : “Pada hari ini aku sempurnakan untuk kamu agamamu, aku lengkapkan kepadamu nikmatku dan aku redhai Islam sebagai agama untukmu”. (Surah Al Maaidah : 3)
Perbedaan Qur’an dengan hadits Qudsi
Ada beberapa perbedaan antara Qur’an dengan hadits qudsi yang terpenting di antaranya ialah:
a. Al-Qur’anul Karim adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Rasululloh dengan lafalnya. Selain sebagai MUKJIZAT, Al Qur’an menantang orang2 arab (bahkan seluruh dunia) untuk membuat yang seperti Al Qur’an bahkan satu surah sekalipun (Al Israa’(17):88,“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.). Sedang hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
b. Al- Qur’anul karim hanya dinisbahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dikatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, sedang hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga nisbah hadits qudsi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu merupakan nisbah yang dibuatkan. Maka dikatakan: `Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman atau Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.` Dengan kata lain, Al Qur’an adalah LANGSUNG firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara hadits qudsi adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yg disampaikan Rasululloh Shallallahu ‘alayhi wasallam.
c. Seluruh isi Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadits-hadits qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadits qudsi itu sahih, terkadang hasan (baik ) dan terkadang pula da`if (lemah). untuk mengetahui hadits lebih lengkap, bisa dibaca di sini, sedangkan untuk pembagian hadits bisa dibaca di sini.
d. Al-Qur’anul Karim dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik lafal maupun maknanya. Maka dia adalah wahyu, baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedang lafalnya dari Rasululloh Shallallahu ‘alayhi wasallam. hadits qudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits diperbolehkan meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja. Dengan kata lain, untuk Al Qur’an kita mesti kutip ayatnya sebelum memberikan penjelasan ttg makna. Sedangkan untuk hadits qudsi, kita bisa menyampaikan maknanya saja.
e. Membaca Al-Qur’anul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca di dalam salat. `Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur`an itu`. Hal ini tertera jelas di QS. Al-Muzzammil(73):20,“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“
Nilai ibadah membaca Al Qur’an juga terdapat dalam hadits:
`Barang siapa membaca satu huruf dari Al Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf`.
Sedang hadits qudsi tidak disuruh untuk dibaca di dalam salat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Maka membaca hadits qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadits mengenai membaca Al Qur’an bahwa pada setiap huruf akan mendapatkan kebaikan
Apabila ingin memiliki secaralengkap kitab hadist qudsi silahkan
Download Ebook Hadist Qudsi – Sebuah Himpunan Lengkap
atau disini http://www.4shared.com/file/pvOyjh5W/Hadits_Qudsi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar